Tuesday, May 25

Perjalanan di Kereta Nelangsa

Tertinggal disini membuat hatiku tersedak. Kereta yang akan membawaku kembali ke padang penggembalaanku baru saja meninggalkan stasiun, dan aku didalamnya tentu. Tas kecil tempatku membungkus pakaian yang tak jadi kupakai, kudekap erat untuk menahan dingin penyejuk udara yang dihembuskan di gerbong para kapitalis ini. Ya, sebuah gerbong eksekutif dari sebuah kereta tua. Dentam roda kereta menghantam rel besi, seperti genderang kesendirian yang menghujam telingaku.

Nanti, jika aku sampai di rumah, dengan siapa aku akan bertutur? Dengan siapa kuceritakan mbak-mbak di sebelahku yang nyaris saja melumasi jaketku dengan air liurnya? Ah, sepertinya senja nanti akan terasa pilu, gloomy, kata bule-bule yang sering kutemui di tempatku kerja. Belum lagi nanti malam, yang sepertinya akan hujan. Kepada siapa aku membuang penatku?

Meski kereta ini melaju dengan kecepatan lebih dari 180 Km/jam, perjalanan ini terasa berjalan di dimensi waktu kura-kura, sangat lambat, dan begitulah sepertinya hari-hariku setelah ini. Menunggumu kembali dari dukamu. Duka dalam yang mungkin tak kan sanggup kuhibur walau aku hidup 200 tahun lamanya.

Kehilanganmu, kehilanganku juga. Bahkan kehilangan ini kurasakan jauh lebih berat daripada kehilanganku sendiri. Karena aku harus kehilangan dirimu juga. Memang tidak selamanya, tapi berat rasanya mendampingi dukamu.

Aku sudah pertaruhkan semua untukmu, kugadaikan jiwaku pada iblis putih penghisap raga hanya untuk melihatmu tertawa. Duka membawamu pada sebuah titik nadir, dimana pintu dan jendela penghiburan habis terbakar. Dan aku disini kelu melihatmu terjerat airmata. Siapa lagi tempatku berbagi? Asal engkau bisa menggenggam duniamu kembali saja. Cukuplah bagiku. Tapi jika mungkin hanya engkau sajalah yang berhak memendam rasa. Akan kutunggu engkau disini. Di temaram senja tempatku memeluk mimpi



P. Budiningtyas